Sunday, August 14, 2016

B.F : False [2]

False [2]
By : Nabila Aisy

——

 “Ada apa ini?!”

Yaya langsung berdiri, juga aku dan Ying. Suasana yang sepi menjadi riuh, orang-orang berlarian kesana kemari. Semuanya panik mendengar ledakan besar itu. Aku tidak tahu darimana ledakan itu berasal, yang pasti berada dalam lingkup sekolah.

“Eh, Hali, apa pasal diorang lari-lari? Nak pergi jogging ke?” Gopal bertanya kepadaku dengan tampang polosnya, seolah-olah ia tak mendengar ledakan itu. Aku baru menyadari, diantara semua kericuhan yang terjadi di Kantin,  Gopal masih menikmati makanannya, sedangkan para pelanggan lain sudah pergi entah kemana, meninggalkan makanan mereka—yang bahkan belum mereka bayar.

Aku menggeleng pelan, tidak menjawab pertanyaan Gopal. Apakah rasa cintanya kepada makanan begitu besar? Sampai tidak menyadari hal ini.

“Kawan-kawan, tengok tu!” Yaya menunjuk ke arah utara, disana ada kepulan asap yang begitu banyak. Orang-orang yang tadi berlarian panik pun berlari ke arah sana, ingin mengetahui apa yang terjadi. “Ini pasti ulah si kepala kotak tu!” Ying bersidekap dada, merasa geram atas perbuatan Adudu.

Tiba-tiba aku teringat dengan adik-adikku, Gempa, Taufan, Api, dan Air. Bagaimana kondisi mereka sekarang? Apakah mereka baik-baik saja? Atau mereka malah berada di tempat kejadian dan bertarung dengan Adudu?

Aku mencoba membayangkan kondisi mereka sekarang. Gempa, ia pasti sedang berusaha menenangkan adik-adiknya dengan bijak (kalau mereka memang bersama Gempa), ia juga akan mengatasi situasi di sekitarnya dengan tenang. Taufan, ia pasti sekarang sedang bersembunyi dibelakang Gempa, atau malah berlarian kesana kemari. Api, mungkin ia sekarang emosional dan menantang Adudu dengan bobola apinya. Dan, Air, pasti ia sekarang sedang tidur dan bermalas-malasan di bola airnya, atau malah mengajak Adudu untuk berdamai. -_-

Aku hanya bisa mendengus, meratapi nasib karena mempunyai adik yang rada-rada seperti Taufan, Api, dan Air.

Disaat aku sedang memikirkan keempat adikku, Gopal menepuk bahuku dengan pelan. “Hali, kita pergi kat situ lah. Ramai betul, pasti ada hal yang penting ni,” Gopal mengajakku untuk pergi ke lokasi, rupanya ia baru saja menghabiskan makanannya, setelah sekian lama ia baru menyadarinya.

Aku mengangguk, kemudian mengajak Ying dan Yaya untuk ikut bersama kami. “Ying, Yaya, kitorang nak pergi kat sana, ikut?” Aku bertanya sesingkat yang aku bisa, entah mengapa saat aku berbicara dengan Yaya, kalimatku jadi panjang-panjang, padahal aku ini irit bicara. “Biar Ying saja yang pergi. Aku akan tengok keadaan dari atas.” Ternyata dia tidak ikut bersama kami. Ada sedikit rasa sedih mengetahui hal itu.

Eh? Kenapa aku jadi begini sih?!

“Hati-hati ya, Yaya. Beritahu kami bila ada sesuatu yang penting.” Setelah Ying berkata seperti itu, Yaya pun pergi ke lokasi dengan menggunakan kuasa gravitasinya, terbang.

“Memangnya, apa jadi ni? Aku tak tau apa-apa lah.” tanya Gopal ketika kami mulai berlari agar segera tiba. Sebenarnya aku bisa menggunakan gerakan kilat-ku, dan Ying bisa menggunakan kuasa lari laju miliknya, tapi, aku merasa kasihan dengan Gopal. Dia kan baru selesai makan, tidak boleh lari-lari dulu.

“Haiya, tadi ada ledakan ma. Kau tak dengar ke?” Ying menatap Gopal heran. Gopal histeris seketika. “Apa?! Ledakan?! Kenapa bisa?!”

Aku dan Ying saling bertatapan, meratapi nasib karena mempunyai teman seperti ini. “Tu lah, kan aku dah kate. Jangan makan terus la! Itu pun tak tau, kita kena waspada tau!” Ying memarahi Gopal yang cengar-cengir mendengar perkataannya.

“Sudah lah. Kita kena bergegas.”

Aku langsung mengambil ancang-ancang. Tanpa ba bi bu, aku menggandeng tangan Ying dan Gopal, kemudian berseru, “Gerakan kilat!”

Sedetik kemudian, kami bertiga sudah berada di tempat kejadian. Ternyata, ledakan itu bersumber dari ruangan Labor Fisika. Disana tidak ada Api, atau Taufan. Hanya ada Gempa, dan Air. Oh ya, Fang juga ada, aku hampir melupakannya—atau sengaja melupakannya.

Suasana disini lebih riuh daripada di Kantin. Aku bahkan hampir terjepit oleh kerumunan kalau aku tidak segera menghindar. Gopal dan Ying juga merasa tidak nyaman dengan ini, mereka terjepit oleh orang yang terus berdatangan dari segala penjuru, sampai akhirnya mereka berhasil berada di barisan terdepan bersamaku.

Guru-guru juga ikut berdatangan, seperempatnya sudah berada di dalam Labor, sedangkan sisanya masih berusaha menyela kerumunan dan mengawasi para siswa.

Aku menggeser posisi ke arah kiri, mendekati pintu Labor. Ada keanehan disini, tidak ada jejak Adudu dan Probe, ataupun bukti bahwa mereka terlibat dalam kasus ini. Tidak ada juga tanda-tanda bahwa mereka tadi ada disini. Aku semakin bergeser ke arah kiri, mencoba melihat keadaan Labor yang setengah tertutup oleh pintu. Aneh, di dalam juga tidak ada Adudu, hanya ada para guru dan satpam yang sedang sibuk dengan kasus ini.

Murid-murid semakin berdesakan, beberapa diantaranya bahkan melompat-lompat dan memukul orang didepannya. Aku semakin gerah saja. Sebisa mungkin aku menjauh dari mereka tanpa menggunakan kuasa.

Ledakan besar ini langsung menjadi trending topic sekolah, hanya dalam hitungan menit, seluruh siswa sudah berkumpul disini. Aku jadi semakin sulit untuk menyelidiki siapa dalang dari kasus ini, dan motifnya melakukan ini.

Atau mungkin, ledakan ini terjadi karena sebuah kesalahan pemakaian alat? Ini kan Labor Fisika, banyak barang-barang aneh dan berbahaya didalamnya. Mungkin, karena kurangnya kepedulian dan kurangnya penjagaan, terjadilah ledakan besar disini.

Sepertinya aku terlalu cepat mengambil simpulan.

Mungkin, aku harus menyelidikinya bersama teman-teman dan saudara-saudaraku.

Aku pun menjauh dari kerumunan, kemudian mengajak Ying dan Gopal agar ikut bersamaku menghampiri Gempa. “Kira-kira, siapa pelakunya ya?” Ying mengelus dagunya, ia sedang berpikir keras. “Ini pasti ulah si kepala kotak tu!” Gopal memberi jawaban, kemudian meremas-remas tangannya, seolah-olah ia sedang meremas kepala Adudu(?)

“Belum tentu.” Aku berpendapat, pendapatku membuat Ying dan Gopal menoleh sambil menautkan alisnya. Mereka tidak setuju dengan pendapatku. Sebenarnya aku juga masih ragu sih. Kasus ini kan belum jelas.

“Kenapa kau cakap macam tu?” tanya Ying, sepertinya ia tampak yakin kalau kasus ini memang disebabkan oleh Adudu. Teman-temanku selalu begitu, setiap ada masalah, pasti menyalahkan Adudu, padahal belum tentu dia pelakunya.

“Cuma perkiraan.”

Aku belum melihat celah siapa pelakunya, belum ada bukti yang akurat. Kalau memang Adudu yang melakukan, ada kemungkinan dia kabur sebelum orang-orang berkerumun disini. Tapi, apa motifnya? Kenapa harus sembunyi-sembunyi?

“Eh, ada Kak Hali, Ying, sama Gopal,” Gempa menyapa, sedikit terkejut atas kedatangan kami yang tiba-tiba. Air hanya diam, ia menatap kami dengan mata yang setengah tertutup, jelas sekali kalau dia sedang mengantuk. Huh, hidupnya memang untuk tidur, tidur, dan tidur. Fang juga diam, ia menatap kami datar, tetapi, tatapannya seperti mengarah padaku, ya, hanya aku. Ia menatapku dengan tajam—karena kami adalah rival.

“O ya, Yaya mana?” Gempa bertanya, baru menyadari kalau Yaya tidak bersama kami. “Yaya sedang tengok keadaan dari atas ma,” jawab Ying, setelah itu melihat-lihat ke atas, mencari keberadaan Yaya, kalau dia memang ada disana. “Oh, begitu.” Gempa mengangguk mengiyakan.

“Gem, Taufan dan Api mana?” Aku bertanya, sedikit mengkhawatirkan keadaan mereka. Bisa saja, mereka sedang disandera oleh Adudu? Atau, mereka sedang diserang Adudu? Biasanya, kalau ada sesuatu yang penting, mereka langsung datang, tapi sekarang mereka tidak kelihatan.

“Eh, aku tak tau kak,” Ia sekarang juga merasa khawatir. Masalahnya, mereka berdua itu ceroboh, kalau mereka membuat kesalahan yang fatal dan memancing kedatangan Adudu bagaimana? Ya, itu sih kalau Adudu memang tidak ada disini.

Tiba-tiba, seorang guru dengan dandanannya yang heboh menyeruak diantara kerumunan, membuat celah yang lumayan besar untuk dilewati. Aku menggeleng melihatnya, guru itu memang terkenal di penjuru sekolah, dandanan dan gaya bicaranya tidak seperti orang lain, lebih heboh dan sering menggunakan logat ‘kebenaran’.

Nama guru itu, Papa Zola.

Disini, kami memanggil guru dengan sebutan “cikgu”. Jadilah, kami semua memanggilnya dengan sebutan “Cikgu Papa”.

“Wahai murid-murid kebenaran! Sila kalian kembali ke kelas masing-masing! Kalau tak, cikgu akan bagi kalian hadiah rotan keinsafan!” setelah menyeruak di kerumunan, cikgu Papa berdiri di antara kami dan langsung menyuruh semua murid untuk kembali ke kelas, tidak lupa sambil menjunjung tinggi rotan keinsafan.

Murid-murid pun ketakutan dan segera berlari ke kelas masing-masing, sedangkan kami masih berdiri dengan santainya tanpa memperdulikan ucapan Cikgu Papa tadi. “Hei hei hei! Kenapa kalian masih disitu wahai murid kebenaran?! Cepat balik ke kelas masing-masing!” Cikgu Papa tampak marah dan menakut-nakuti kami dengan mendekatkan rotan keinsafannya.

Tiba-tiba, Gopal bicara, “Cikgu, nanti dulu lah! Kita lagi cari Taufan dan Api ni!” kami langsung memandang Gopal, jarang dia berani seperti ini. “Hah?! Apa?! Kenapa?! Bagaimana?! Taufan dan Api hilang?!!” Cikgu Papa membalas dengan semangat, tidak lupa dengan ludah yang menyemprot.

Uh, menjijikkan.

“Ish, cikgu ni! Kalau cakap hati-hati lah!” Ying tampak kesal, sepertinya, dia yang terkena ludah paling banyak, karena dia berdiri di dekat Cikgu Papa.

“Tak kesah lah tu! Taufan hilang! Api hilang! Terkena ludah, Saya tak perduli! Cepat balik!”

Cikgu Papa kembali menjunjung tinggi rotan keinsafannya, sambil komat-kamit memarahi kami. Untungnya, kami tak kena damprat lagi oleh ludah Cikgu Papa. Dengan terpaksa, kami pun kembali ke kelas masing-masing.

**

“Siapa yang berjumpa dengan Taufan?”

Saat berjalan menuju kelas, aku bertanya pada mereka semua. Yah, rasanya, tidak mungkin kalau tidak ada seorang pun yang melihat bocah tengil itu.

Mendengar pertanyaanku, mereka terpaku. Tiba-tiba Ying menjawab pertanyaanku, “Tadi aku sempat jumpa dengan dia lah.” Mendengar jawaban Ying kami pun menghentikan perjalanan.

“Hah? Kau jumpa dengan Taufan, Ying?” sebelum aku sempat bertanya, Gempa lebih dulu menyela.

“Iya, kenapa?”

“Tadi aku ada janji dengan dia, tapi tak jumpa. Memangnya, kau buat apa dengan Taufan?”

Gempa kembali bertanya, seolah-olah dia sedang menginterogasi Ying. Oke, sepertinya  aku harus membiarkan Gempa bertanya lebih dulu, setidaknya ada informasi yang aku dapat.

“Sebenarnya, bukan aku saja, tapi... ada Yaya juga..” kalimat Ying terhenti, mungkin, dia ingat sesuatu. Eh? Yaya?

“Haiya! Yaya belum balik juga wo! Macam mana ni?!”

Rupanya, hal yang dia ingat sama sepertiku. Sampai sekarang ini Yaya juga belum kembali, padahal, kerumunan sudah dibubarkan, tidak ada lagi murid-murid yang berada disana, mungkin, hanya ada beberapa guru yang sedang membersihkan ruang Labor.

“Hah? Apa pasal semua orang hilang?” Fang mengkerutkan dahinya, akhirnya dia bicara juga. Kami jadi semakin panik, teman kami yang hilang bertambah satu. Walaupun begitu, aku tidak terlalu mencemaskan Yaya, dia kan sangat kuat. Bahkan dia dapat membuat ruangan kelas runtuh dalam sekejap, hanya dengan memukul dinding menggunakan tangannya. Tapi, tetap saja ini tidak bisa dianggap sepele.

“Kalau macam ni, kita harus mencarinya.” Air memberi usul, setelah sekian lama terdiam, Air akhirnya bicara.

“Tapi, macam mana caranya? Kejap lagi bel nak bunyi!” Ying tampak panik, bagaimana tidak? Taufan dan Api hilang, begitu juga dengan Yaya. Yaya kan, sahabat perempuan Ying satu-satunya. Karena diantara kami semua, yang berjenis kelamin perempuan hanya Ying dan Yaya, jadi sekarang dia sendirian.

“Yah, nak buat apa lagi? Terpaksa kita membolos!” Air bersikeras mencari mereka bertiga, walaupun usulnya tidak terlalu bagus. Tidak mungkin kalau kami semua membolos, apalagi di jam pelajaran pertama!

“Haiya! Tak boleh ma! Aku pun nak cari diorang, tapi aku juga tak nak bolos sekolah!” Ying juga bersikeras dengan pendapatnya. Ying itu anak rajin, selalu mendapat peringkat tiga besar dikelasnya—dan dia selalu bersaing dengan Yaya—tidak mungkin kan, dia membolos? Bisa-bisa, ia tidak mendapat peringkat lagi.

“Lalu macam mana dengan diorang?”

“Mana aku tahu!”

“Diam!!”

Mendengar perkataanku, mereka semua langsung diam. Sepertinya, mereka takut kalau aku akan menyetrum mereka. Huh, aku tidak sejahat itu tahu!

“Macam mana ni Hali? Tak mungkin kita diam saja disini?” Gopal meminta jawaban, berharap aku menemukan solusinya. Aku berpikir, bagaimana cara mencari mereka, tapi tidak bolos sekolah? Hm, aku mulai bingung.

“Kalau macam ni, baik kitorang rehat dan balik ke kelas masing-masing. Nanti kita akan cari diorang tu. Kalau menurut aku, mungkin selepas ni sekolah akan diliburkan. Sebab ledakan tu bukan masalah kecil, kena dituntaskan dahulu.”

“Hm, betul juga cakap kak Hali ni. Baik kita balik dulu.” Gempa menyetujui usulku.

Perlahan, mereka pun mengangguk.

“Yelah, tapi, aku sendiri je di kelas..”

Gopal menunduk sedih. Ia memang sekelas dengan Taufan dan Api, tempat duduk pun berdekatan. Namun, kedua rekannya yang somplak itu hilang. Biasanya mereka yang membuat suasana kelas ramai. Yah, mereka bertiga mempunyai kepribadian yang sama. Taufan, Api, dan Gopal tak bisa dipisahkan.

“Sabar Gopal. Nanti kita cari diorang. Kau tak akan sendiri lagi.” Gempa menepuk bahu Gopal, memberi semangat.

“Yaloh, aku juga sendiri ma. Nanti kita berjumpa dengan dia la.” Ying ikut memberi semangat.

“Hm, memang kau sendiri. Tapi kau kan sekelas dengan Gempa. Ada juga lah kawan kau tu. Ha aku? Sorang je.” Gopal menghela napas lesu. Ia tampak tak bersemangat.

"Dah lah tu. Jangan dipikirkan sangat. Kejap lagi kita jumpa dengan diorang. Tak payah sedih macam tu, kena semangat. Oke?” Gempa memang bijak, ucapannya membuat Gopal tersenyum. Setidaknya, ia memiliki teman yang memberi semangat setiap saat.

“Yelah, jom kita balik!”  

Kami berjalan beriringan menuju kelas. Kelas kami memang bersebelahan. Aku, Fang dan Air di kelas 8.2, Gempa, Yaya dan Ying, di kelas 8.1, sedangkan Gopal, Taufan dan Api di kelas 8.3.

**

[ Normal P.O.V ]

“Hey Ying. Menurutmu, mereka ada dimana?”

Gempa memutar kursi ke belakang, menghadap Ying yang sedang melamun sambil bertopang dagu.

“Ah, i-iya Gempa? Kau cakap apa tadi?” 

Ying tersentak, lamunannya buyar. Ia menatap wajah Gempa yang lembut dan penuh wibawa, senyuman menghiasi wajahnya. Tak salah jika Gempa dipilih sebagai Ketua Osis. Siapapun yang melihat wajahnya pasti merasa tenang, belum lagi sifatnya yang ramah dan bijaksana, ia selalu bisa mengatasi masalah dengan baik. Tambahan, ia juga merupakan siswa terpintar—setelah Yaya dan Ying tentunya.

“Hm.. Tak ada lah. Aku cuma panggil, je..”

“Oh, macam tu.”

Ying tampak manggut-manggut. Tak lama kemudian suasana berubah canggung. Hening.

“.. Ying?” raut wajah Gempa terlihat serius.

“Ya Gempa?”


“Menurutmu mereka ada dimana?” tanya Gempa, yang kedua kalinya. Walaupun bagi Ying tidak.

“Maksudmu, Yaya, Taufan dan Api?” Ying yang sedang tidak connect pun bertanya pada Gempa yang sekarang berada di depannya, raut wajah mereka sangat dekat. Ying menyadari, kalau wajah yang ada dihadapannya sungguh tampan.

“Tentu, kalau bukan mereka siapa lagi..” kali ini raut wajah Gempa facepalm.

“Hehe.. aku tak tahu ma, tapi tak ada salahnya menebak kan?”

“Ya. Kita semua kan memang tidak tahu, Ying.”

“Baiklah. Ini cuma tebakan, menurutku kemungkinan besar Yaya ada di taman belakang sekolah, lalu--”

“Kenapa begitu?” tanya Gempa memotong jawaban Ying. Ying mendengus, tapi akhirnya menjawab juga.

“Karena, ruang Labor Fisika itu jaraknya dekat dengan taman, Yaya pasti lewat sana kan? Lagipun, disana kan tempatnya agak terpencil dan penuh dengan pepohonan, jadi kalau ada orang disana tidak akan ada yang tahu. Itu cuma opiniku saja lah.”

“Hm.. Aku juga berpikiran sama macam kau. Kalau Taufan dan Api?”

“Kalau diorang, aku tak tahu..”

“Yelah..”

Hening kembali melanda. Namun tidak lama kemudian, Gempa kembali mengobrol dengan Ying. Kebanyakan bertanya tentang pendapat, lalu mengenai pelajaran, hobi, dan lain-lain. Obrolan mereka sudah melenceng kemana-mana. Dan hal itu selalu dimulai oleh Gempa. Intinya Gempalah yang mencari topik obrolan.

Hingga sudah 15 menit mereka mengobrol, terdengar pengumuman dari piket sehingga obrolan mereka terpaksa harus berhenti.

“Perhatian. Pengumuman bagi seluruh siswa, hari ini PBM1 ditiadakan karena adanya ledakan di Labor Fisika. Bagi seluruh siswa, tidak diperkenankan untuk pulang, harap berada di sekolah sampai ada pengumuman secara resmi dari pihak Kepala Sekolah. Diharapkan bagi seluruh siswa untuk berhati-hati. Sekian, terimakasih.”

Setelah pengumuman itu selesai, terdengarlah sorakan dari murid-murid yang berada di kelas. Jam kosong memang suatu kebahagiaan bagi sebagian besar pelajar.

“Nah Gempa, sekarang bagaimana?”

“Er.. bagaimana kalau kita ke kelas kak Hali saja?”

“Oke.”

**


Bersambung__

NB 1 : Proses Belajar Mengajar

Hai readers, sekarang ffnya aku selipin gambar ^^ dan untuk bahasa percakapannya mungkin akan berubah2 jadi malay atau indo. Kalau ada yang sukanya pakai bhs Malay boleh aja, yg penting komen, nanti aku ganti bhs dialognya ^^  Semoga suka ya ^^ Oke, yg udah mau baca makasiih. Thx u 

Friday, August 12, 2016

B.F : False [1]



False [1]

By : Nabila Aisy

——
“Selamat pagi, Yaya.”

Yaya tersenyum ketika sebuah sapaan hangat hinggap padanya, ia tersenyum lebar sebelum ia membalas sapaan tersebut.

“Pagi juga, Ying.”

Yaya lalu duduk disebelah Ying, ia mulai membuka topik pembicaraan pagi ini, “Ying, kamu udah buat PR Fisika, belum?” tanyanya, Ying menjawab, “Tentu saja. Aku ini kan, anak rajin!” Yaya tertawa, memang beginilah kelakuan Ying, sifat over PD-nya membuat ia terlihat menggemaskan. Yaya menyukainya.

“Kalau kamu, udah belum?” Ying balik tanya.
“Tentu saja, aku ini kan, anak rajin!” jawab Yaya menirukan ucapan Ying. Mereka berdua tergelak, sesaat sebelum seseorang mengejutkan mereka dari belakang.

“DOORR!!”

“Kyaaa!”

Seseorang itu tertawa keras, setelah puas tertawa, ia mengambil kursi, lalu ikut duduk disebelah Ying dan Yaya. “Hei! Gempa! Kamu ini usil banget sih!” Ying memukul kecil pundak Gempa. Yang dipukul meringis sambil tertawa kecil. “Eh, eh, hentikan!” Gempa mengaduh ketika pukulan Ying semakin keras, “Habis kamu ini!” bukannya menghentikannya, Ying malah merperkeras pukulannya. 

“Hei, udah-udah! Kalian ini kenapa sih? Kan cuma persoalan kecil!” Yaya mulai melerai, gawat kalau dibiarkan saja, bisa-bisa nanti terjadi perang dunia ke-3. “Huh!” Ying mengalihkan pandangannya, ia—sebenarnya sih, pura-pura—marah pada Gempa, ia pun berinisiatif untuk memukul pundak Gempa sebagai pembalasan karena sudah mengusilinya tadi.

“Kamu pikir aku ini apaan? Dipukuli sampai segitunya!” Gempa mengelus pundaknya yang—sepertinya—memerah lantaran Ying memukulnya terlalu keras. Terkadang Ying memang tidak berperasaan, walaupun cuma bercanda.

“Huh! Aku tidak peduli!”

“Ying!”

“Iya, iya, aku kan, cuma ingin membalas perbuatan kamu, Gempa.”

Yaya tertawa, sejak dulu mereka berdua—Gempa dan Ying, tentunya—tidak pernah berubah. Sebentar-sebentar bertengkar, sebentar-sebentar berdamai, kira-kira, begitulah siklus hidup mereka berdua.

Tiba-tiba, jam kuasa Gempa berkedip, lalu muncul grafik si pemanggil.

“Hai kak Gempa! Kakakku tercinta!”

“Hai, Taufan. Adikku yang paling sewel.”

Taufan cemberut, tidak terima kalau dia dibilang ‘sewel’. “Ah! Kak Gempa gitu! Aku gak sewel tau!”

“Bagi kakak, kamu itu sewel.”

“Kak Gemgem! Eh, tunggu dulu, kok, kayak ada suara cewek, ya?”

“Emang disini ada cewek, Taufan.”

“Hah? Mana-mana? Sini, sini! Taufan mau liat!”

“Nih!” Gempa mengarahkan jam kuasanya ke arah Ying dan Yaya. Sedetik kemudian, wajah Taufan berubah murung. “Hh, kirain cewek cantik, ternyata, dua cewek garang..”

“APA?!”

“Eh! Bukan apa-apa kok, cantik!”

Gempa hanya terdiam memandang mereka, ia tidak mau kalau harus berurusan dengan dua cewek garang ini. (Ngomong-ngomong, itu julukan si kembaran Boboiboy untuk Yaya dan Ying).

“Apa cantik-cantik?! Awas kamu nanti ya!”

“Eh sudah-sudah, jangan bertengkar!” Gempa kemudian mengambil lagi jam kuasanya, agar Yaya dan Ying tidak bertatap muka lagi dengan Taufan, takut-takut kalau nanti dua cewek garang ini mengamuk.

“Huh, makasih kak,” Taufan mengelus dadanya, merasa lega karena tidak harus bertatap muka lagi dengan dua cewek garang tadi.

“Kak Gemgem! Main yuk!” ajak Taufan, Gempa hanya tersenyum melihat kelakuan adikknya itu. “Boleh. Kamu datang aja kesini,” Gempa memberikan jawaban, tapi, sepertinya Taufan tidak setuju dengan jawaban Gempa. “Gak asik! Masa iya, Taufan yang imut unyu-unyu gini jalan sendirian ke sana? Gak mau!” Taufan mulai merengek.

“Haduh, kan bisa pakai hoverboard.”

“Eh, iya ya.”

“Udah-udah, kamu cepat aja kesini.”

“Tapi, ada dua cewek garang kak, nanti aku diserang habis-habisan, kakak tau kan, mereka itu kalau ngamuk kayak apa?” Taufan menggeleng-geleng tidak setuju.

“Halah, kamu ini, penakut banget. Tiru dong, sifat kakak kita, gak ada yang berani kan sama dia. Udah cepetan aja kesini kenapa sih?”

Taufan tersenyum kecut. Ia tahu siapa ‘kakak’ yang dimaksud Gempa, tentu saja, siapa lagi kalau bukan Halilintar? Sifatnya benar-benar mirip dengan namanya. Diantara kembaran Boboiboy, Hali-lah yang paling pendiam dan sensitif. Tidak ada yang berani mencari gara-gara dengannya, siapapun orangnya.

Taufan pun mempertimbangkan, antara dibelasah oleh dua cewek garang, atau dianggap lebih buruk daripada Hali? Bagi Taufan, image atau gengsi adalah yang terpenting daripada segala-galanya. Ia tidak terima kalau ia direndahkan oleh kakaknya. Apalagi, ia dan Hali adalah rival. Mereka berdua tidak pernah akur, Taufan yang menyenangkan, dan Hali yang sensitif. Taufan yang usil, dan Hali yang pemarah. Yah, walaupun begitu, Taufan tetap menyayangi Hali—tentu saja, sebagai kakaknya.

Dengan begitu, Taufan sudah memutuskan.

“Huh, iya deh, Taufan bakalan kesana. Jangan kemana-mana ya, kak!”

“Iya, cepetan.”

**

“Gempa!”

Merasa ada seseorang yang memanggil namanya, ia pun menoleh. Seorang lelaki yang ia kenal dengan style rambut landaknya telah berdiri di pintu kelas. “Hei! Apa yang kamu lihat? Cepat kesini!” Si rambut landak menyuruh Gempa agar segera menghampirinya. Ia kelihatan tergesa-gesa.

“Ada apa, Fang? Kok ngos-ngosan gitu?” Gempa menatap heran Fang yang sedang berusaha mengambil oksigen sebanyak-banyaknya, setelah nafasnya kembali normal, Fang pun mengamuk-ngamuk memarahi Gempa yang memasang tampang tidak bersalah.

“Kamu ini becus atau enggak sih?!”

Gempa kebingungan, ia merasa tidak melakukan kesalahan apapun. Tapi kenapa Fang malah memarahinya sekarang ini? Apa salahnya?

“Maksud kamu itu apa, Fang?” tanya Gempa.

“Kamu ini pura-pura lupa atau gimana?!” Fang semakin marah, sedangkan Gempa semakin bingung.

Yaya dan Ying yang sedang duduk mengobrol, merasa terganggu karena adanya keributan di pintu kelasnya. “Haduh, itu siapa lagi sih, yang meribut?” Ying memasang wajah kesal, merasa terganggu ketika mendengar keributan di pintu kelasnya. “Entahlah. Eh, kayaknya, yang marah-marah itu Fang deh. Ayo kita lihat, Ying.” Yaya langsung menarik tangan Ying, mengajaknya untuk ikut melihat keributan di pintu kelas.

“Hei, hei! Pagi-pagi begini sudah bikin keributan, mau nama kalian aku catat, ya?!” Yaya langsung sigap mengeluarkan notes dan pena berhiaskan kepala domba, yang sudah menjadi ciri khasnya.

“Kalau mau catat, catat saja nama Gempa! Aku kesini cuma untuk melaksanakan tugas, tau!” nampaknya, emosi Fang sudah mereda. Ia pun menyenderkan punggungnya di pintu kelas. Kemudian sedikit berdeham, berusaha memasang tampang cool-nya. “Memangnya ada apa? Sampai harus marah-marah kayak tadi?” kali ini Ying yang bertanya.

“Jadi begini, sebenarnya, tujuan aku kesini, untuk memanggil para anggota OSIS untuk ikut rapat, kan sudah diumumkan sejak kemarin! Tadi pagi juga. Tapi, kenapa kalian, yang malah anggota inti, gak ikut rapat? Gara-gara kalian, aku habis-habisan dimarahi sama Bu Karin, terus disuruh mencari anggota OSIS agar ikut rapat.” setelah Fang menjelaskan panjang lebar, Gempa dan Yaya pun tercengang, mereka lupa kalau hari ini ada rapat OSIS, padahal, mereka berdua anggota inti, memalukan.

“Haduh, kok bisa sampai lupa, sih. Aduh! Gempa, Gempa..” Gempa menepuk-nepuk kepalanya, lalu mengutuk dirinya sendiri. Ia menganggap dirinya tidak bertanggung jawab sebagai Ketua Osis. Seharusnya, dia yang mengingatkan orang lain untuk ikut rapat, bukan dia yang diingatkan oleh orang lain.

“Jadi sekarang bagaimana?” Yaya cemas, takut kalau nanti ia akan dimarahi oleh Bu Karin, sang pembina OSIS.

“Kita harus cari anggota yang lain. Bantu aku mencarinya, ya! Gempa, kamu ikut denganku. Yaya, kamu juga cari anggota yang lain, katakan kalau kita rapat di ruang OSIS.” Setelah mengucapkan kalimat itu, Fang dan Gempa pun pergi mencari anggota yang lain.

Tunggu, sepertinya Gempa melupakan sesuatu.

“Kak Gempa!” Taufan yang baru tiba tidak menyadari, kalau didepannya ada Yaya dan Ying sedang berdiri membelakanginya.

Yaya dan Ying berbalik, melihat siapa orang yang memanggil Gempa. Seketika, muncullah aura hitam disekitar Ying dan Yaya. Sesaat setelah itu, mereka berdua tertawa sinis. “Ternyata, kita bertemu disini ya.”

“Larii!”

Taufan langsung terbang menggunakan hoverboard-nya dengan kecepatan penuh. Ia berusaha menghindari Yaya dan Ying yang sudah melemparkan tatapan maut kepadanya, bisa mati dia kalau hanya berdiam diri menanti apa yang akan Yaya dan Ying perbuat.

“JANGAN LARI KAU TAUFAN!”

‘sett’

Tanpa diduga-duga, Yaya dan Ying telah berada di sebelah Taufan.

“Glek.”

“Tumbukan Padu!”

“Seribu Tendangan Lajuu!”

“TIDAK!!”

Semoga arwah Taufan beristirahat dengan tenang.

**

“Haduh, banyak yang belum datang nih, Fang!”

“Iya Gempa. Eh, aduh!”

Saat sedang sibuk mencari-cari anggota OSIS yang lain, Fang pun menabrak seseorang—karena terlalu panik mencari anggota. “Aduh, sakitnya.” Fang mengelus-elus kepalanya yang tadi sempat terbentur saat bertabrakan, tanpa melihat siapa orang yang ditabraknya.

“Hm.”

Menyadari sesuatu, Fang kemudian menengadahkan kepalanya, melihat siapa orang yang ditabraknya barusan. Bulu kuduk Fang berdiri tegak, saat tahu siapa orang yang ditabraknya.

Orang ini dijuluki sebagai Pria Yang Paling Tampan di sekolah. Selain itu, beberapa dari mereka, memanggilnya dengan sebutan “Pangeran” atau “Prince”. Cukup menggelikan, memang. Tapi, harus diakui, bahwa pria yang sedang berdiri di depannya ini memang tampan.

Eh? Apa-apaan sih?! Yang paling tampan disekolah ini aku tau! Fang membatin, tidak mengakui kalau ia baru saja memuji pria yang sekarang berdiri didepannya.

“Ehm, ma-maaf kak Hali. Kami gak sengaja.” Gempa berusaha mengambil alih keadaan, agar keadaan tidak semakin buruk, sementara Fang pura-pura tidak tahu terhadap apa yang dilakukannya barusan.

Ternyata yang ditabrak oleh Fang adalah Boboiboy Halilintar, atau yang kerap disapa Hali. Kembaran tertua di Boboiboy Bersaudara. Rival Taufan dan juga Fang. Dan juga primadona sekolah ini. Hampir seluruh siswi mengidolakannya, bahkan memanggilnya dengan sebutan “Prince” atau “Pangeran Sekolah”.

 “Iya.” Hali membalas dengan padat, singkat, dan jelas. Tidak ada embel-embel yang lain. “Ada urusan apa Gem?” Hali bertanya kepada Gempa, hanya Gempa, seolah-olah Fang sedang tidak berada di depannya.

‘Huh, sekarang aku yang dicuekin!’ lagi-lagi, Fang membatin. Merasa diperlakukan tidak adil oleh Hali. 

“Kita lagi cari anggota OSIS kak. Ada rapat, soalnya. Oh ya, kak Hali mau kemana?” jawab Gempa sekedar basa-basi, ia sebenarnya masih merasakan sedikit rasa panik, karena sampai sekarang ia belum menemukan anggota OSIS.

“Jalan-jalan.” Lagi-lagi, jawaban yang singkat. Yah, kepribadian Hali memang seperti itu. Selalu menjawab dengan singkat, padat, jelas, dan teraktual. Ia tidak pernah menggunakan embel-embel lain yang dia anggap tidak penting, apalagi sekedar basa-basi, buang-buang waktu, katanya.

“Eum, kalau begitu, Gempa sama Fang duluan ya, kak. Buru-buru banget, nih. Dah kak Hali!” setelah pamit pada Hali, Gempa pun buru-buru menggamit tangan Fang, lalu berlari menjauh dari Hali.

“Hm, awas kau Fang.”

**

“Hoi, Hali!”

Gopal berlari ke arah Halilintar yang berada agak jauh di depannya. Tubuh yang berisi membuat Gopal kesusahan untuk mengejar Hali, sampai-sampai ia harus mengeluarkan seluruh tenaga yang ada untuk mengejar Hali yang berjarak beberapa meter di depannya. Karena itulah, ia selalu mendapatkan nilai Pendidikan Jasmani paling rendah dikelasnya, selalu di bawah rata-rata.  “Hali! Hei, tunggu!” Gopal semakin mempercepat laju larinya. Merasa terpanggil, Hali kemudian menoleh ke belakang.

“Hali, mau kemana?” tanya Gopal, sambil berusaha menghirup pasokan oksigen sebanyak-banyaknya. Dengan kekuatan yang tersisa, ia memandang wajah Hali yang hanya berdiam diri menatapnya. “Hei! Aku ini ngomong sama kamu tahu! Jawab dong!” Gopal mulai marah, karena sebab Hali-lah ia menjadi seperti ini.

“Entah.”

“HUAAH! Kau ini! Jangan buat aku marah, dong!” Gopal terduduk lemas sambil mencaci-maki Hali. Yang dicaci hanya diam, tidak membalas. Hal itu membuat Gopal semakin berang saja. “Kalau mau jawab itu yang jelas! Biar aku mengerti!” Gopal menggoyang-goyangkan bahu Hali. Ia merasa gemas dengan sikap Hali yang terlalu irit bicara itu, hal itu membuat dia merasa diabaikan, dan Gopal benci itu.

“SRRRT!”

“HUWA! SAKIT!”

Sepertinya, Gopal baru saja disetrum oleh Hali. “Makanya, jadi orang jangan seenaknya.” Hali memperingati Gopal. Anehnya, Hali masih berdiri saja disitu, biasanya, ia pasti akan meninggalkan orang itu tanpa memikirkan kondisinya, kadang, ia malah tidak bicara apapun.

“Ukh, seharusnya aku yang ngomong kayak gitu.”

“SRRT! BZZT!”

“HUWA! Iya-iya! Maafkan aku! Jangan setrum aku lagi!” Gopal mengerang kesakitan, sambil bersujud memohon di depan Hali. Hali hanya mengangguk sebagai jawaban, kemudian pergi menjauh.

“Eh, eh! Tunggu!” Gopal menyusul Hali.

“Apa lagi?” Hali menjawab malas. Merasa kalau temannya yang satu ini benar-benar merepotkan.

“Gimana kalau kita ke Kantin? Ya ya?” Gopal memohon, berhubung perutnya sudah keroncongan meminta makan, tebersit ide di kepalanya untuk pergi ke Kantin. Ia pun berharap Hali mau menemaninya makan, yah, daripada ia harus makan sendirian, nanti dikira jomblo lagi.(?)

Berarti, dia lebih memilih dikira homo daripada jomblo? Sepertinya begitu.

 “Hm, baiklah.”

Tak disangka, Hali ternyata menerima tawaran Gopal. Gopal yang mendengarnya merasa tidak percaya, biasanya, Hali selalu menolak tawaran orang lain mentah-mentah. “K-kau, bilang apa tadi?” Gopal memegang bahu Hali, kemudian menatap wajahnya lamat-lamat. “Kita jadi ke Kantin?” Hali bertanya malas, Gopal memang tidak pernah berhenti mencari naas dengannya.

“Eh, iya-iya. Jadi.”

**

Hali P.O.V

Sekarang aku sedang berada di Kantin. Bersama dengan Gopal, orang paling merepotkan yang pernah aku temui. Walaupun begitu, aku senang berteman dengannya, dia orang yang setia kawan.

Di balik wajah sangarku ini, sebenarnya aku orang yang baik, tapi, terkadang aku memang tidak berperikemanusiaan. Itu sih, kalau aku sedang tidak ingin diganggu, dan mereka malah merepotkanku. Uh, itu sangat menyebalkan. Aku juga tidak suka melihat teman-temanku disakiti oleh musuh bebuyutanku, kalian pasti tahu, bukan? Ya, siapa lagi kalau bukan Adudu, si kepala kotak itu, dan robot setianya, Probe.

Aku mempunyai rival abadi, namanya Fang. Aku sering menjulukinya Si Landak Ungu. Dia pasti marah dan membalasku jika aku memanggilnya dengan sebutan itu. Dia juga punya julukan untukku, Si Listrik Pemarah. Aku tidak tahu kenapa dia menjuluki aku seperti itu. Mungkin, karena sifatku yang sangat cuek dan kadang-kadang suka menyetrum orang seenaknya. Ngomong-ngomong, aku menjuluki dia Si Landak Ungu, karena rambutnya yang mirip landak dan berwarna ungu. Aku benar kan?

“Hei, kau tidak makan?” 

Gopal menyodoriku semangkuk bakso dengan mulutnya yang penuh makanan. Aku menggeleng, menjawab tidak. Pagi ini aku sedang tidak berselera.

“Gopal, Hali!”  

Aku dan Gopal menoleh. Yaya dan Ying sedang berlari-lari ke arah mejaku—ralat, meja kami. Entah mengapa, pandanganku hanya tertuju pada Yaya seorang. Ia nampak cantik dengan kerudung yang membungkus kepalanya. Eh? Kenapa aku jadi begini?

“Hei, kalian berdua! Kalian melihat Airin tidak?” Yaya bertanya kepada kami berdua. Gopal sontak menggeleng, kemudian melanjutkan acara makannya yang tadi sempat berhenti. “Kalau kamu? Lihat tidak?” Yaya melihat ke arahku. Aku kemudian mengingat-ingat.

“Hei!” Yaya memukul meja kantin, para penduduk kantin yang sedang makan dengan khidmat pun terganggu. Dalam waktu beberapa detik, kami semua langsung menjadi sorotan. Atau, mungkin lebih tepatnya, aku dan Yaya langsung menjadi sorotan.

“Hali, kalau mikir jangan lama-lama dong! Nanti Yaya mengamuk!” Gopal berbisik ke telingaku, berusaha mengingatkan.

“Eits, tenang-tenang. Memangnya kenapa sih? Hali kan lagi mikir, jangan langsung mukul meja gitu.” Ying memegang bahu Yaya, mencoba meredakan emosi Yaya yang meluap-luap. Ying ternyata berhasil, sepertinya Yaya merasa bersalah karena sudah memukul meja dan membuatku terkejut.

“Maaf. Gak sengaja. Kamu lihat Airin tidak?” Yaya bertanya sekali lagi, kali ini terlihat lebih tenang dan tidak ada gerak-gerik yang mencurigakan—takut-takut, nanti dia mengamuk dan langsung membelah meja jadi dua. Jangan main-main dengan gadis yang satu ini.

Aku pun menjawabnya dengan gelengan kepala, “Maaf. Memangnya Airin yang mana? Yang baru masuk OSIS itu ya?” “Iya, dia kan anak baru, tapi dia belum pernah ngumpul OSIS sama sekali. Katanya, dia mau banget masuk OSIS. Tapi setiap disuruh berkumpul, ada aja alasannya.” Yaya menjelaskan dengan wajah yang bersungut-sungut, mungkin karena ia merasa kesal dengan sikap Airin.

Aku melihat wajah Yaya yang sedang cemberut itu. Aku tidak tahu alasannya apa, tapi, ia terlihat sangat imut. Pipinya yang berwarna merah merona itu terlihat menggemaskan. Aku jadi ingin mencubitnya.

Eh? Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku jadi berpikiran seperti ini?!

“Ya sudahlah, Yaya. Kalau kelakuannya seperti itu, lebih baik keluarkan saja dia dari OSIS. Anak baru, kok, kelakuannya begitu,” Ying menasehati, lalu duduk di depan kami berdua. Kemudian, diikuti oleh Yaya yang duduk disebelahnya. “Ya, kamu benar Ying. Dia memang tidak bertanggung jawab.” Saat Yaya mengucapkannya, wajahnya sudah kembali ceria.

“O ya, memangnya kamu tidak ikut rapat, Yaya?” aku bertanya, hanya sekedar ingin tahu.

“Iya. Tapi, rapatnya diundur jam 8 nanti, gara-gara banyak yang belum datang,” Yaya menjawab sambil memain-mainkan garpu yang sudah tersedia di atas meja. Aku mengangguk membalas jawaban Yaya.

Suasana pun berlangsung dengan keheningan. Entah mengapa, Gopal tidak banyak bicara, mungkin karena ia sedang menikmati makanan dengan khidmat. Tapi, hal itu hanya berlangsung selama 5 menit. Karena, tanpa kami duga, musuh bebuyutan kami telah membuat kekacauan di sekolah ini.

Kemudian, terjadilah ledakan.

“DUAR!!”

Dengan ini, berarti, masalah telah dimulai.



Bersambung__

(tunggu part selanjutnya yaa, thank u)