False [1]
By : Nabila Aisy
——
“Selamat
pagi, Yaya.”
Yaya
tersenyum ketika sebuah sapaan hangat hinggap padanya, ia tersenyum lebar
sebelum ia membalas sapaan tersebut.
“Pagi juga,
Ying.”
Yaya lalu
duduk disebelah Ying, ia mulai membuka topik pembicaraan pagi ini, “Ying, kamu
udah buat PR Fisika, belum?” tanyanya, Ying menjawab, “Tentu saja. Aku ini kan,
anak rajin!” Yaya tertawa, memang beginilah kelakuan Ying, sifat over PD-nya membuat ia terlihat
menggemaskan. Yaya menyukainya.
“Kalau kamu,
udah belum?” Ying balik tanya.
“Tentu saja,
aku ini kan, anak rajin!” jawab Yaya menirukan ucapan Ying. Mereka berdua
tergelak, sesaat sebelum seseorang mengejutkan mereka dari belakang.
“DOORR!!”
“Kyaaa!”
Seseorang
itu tertawa keras, setelah puas tertawa, ia mengambil kursi, lalu ikut duduk disebelah
Ying dan Yaya. “Hei! Gempa! Kamu ini usil banget sih!” Ying memukul kecil
pundak Gempa. Yang dipukul meringis sambil tertawa kecil. “Eh, eh, hentikan!”
Gempa mengaduh ketika pukulan Ying semakin keras, “Habis kamu ini!” bukannya
menghentikannya, Ying malah merperkeras pukulannya.
“Hei,
udah-udah! Kalian ini kenapa sih? Kan cuma persoalan kecil!” Yaya mulai
melerai, gawat kalau dibiarkan saja, bisa-bisa nanti terjadi perang dunia ke-3.
“Huh!” Ying mengalihkan pandangannya, ia—sebenarnya sih, pura-pura—marah pada
Gempa, ia pun berinisiatif untuk memukul pundak Gempa sebagai pembalasan karena
sudah mengusilinya tadi.
“Kamu pikir
aku ini apaan? Dipukuli sampai segitunya!” Gempa mengelus pundaknya
yang—sepertinya—memerah lantaran Ying memukulnya terlalu keras. Terkadang Ying
memang tidak berperasaan, walaupun cuma bercanda.
“Huh! Aku
tidak peduli!”
“Ying!”
“Iya, iya,
aku kan, cuma ingin membalas perbuatan kamu, Gempa.”
Yaya
tertawa, sejak dulu mereka berdua—Gempa dan Ying, tentunya—tidak pernah berubah.
Sebentar-sebentar bertengkar, sebentar-sebentar berdamai, kira-kira, begitulah
siklus hidup mereka berdua.
Tiba-tiba,
jam kuasa Gempa berkedip, lalu muncul grafik si pemanggil.
“Hai kak Gempa!
Kakakku tercinta!”
“Hai,
Taufan. Adikku yang paling sewel.”
Taufan
cemberut, tidak terima kalau dia dibilang ‘sewel’. “Ah! Kak Gempa gitu! Aku gak
sewel tau!”
“Bagi kakak,
kamu itu sewel.”
“Kak Gemgem!
Eh, tunggu dulu, kok, kayak ada suara cewek, ya?”
“Emang
disini ada cewek, Taufan.”
“Hah?
Mana-mana? Sini, sini! Taufan mau liat!”
“Nih!” Gempa
mengarahkan jam kuasanya ke arah Ying dan Yaya. Sedetik kemudian, wajah Taufan
berubah murung. “Hh, kirain cewek cantik, ternyata, dua cewek garang..”
“APA?!”
“Eh! Bukan
apa-apa kok, cantik!”
Gempa hanya
terdiam memandang mereka, ia tidak mau kalau harus berurusan dengan dua cewek
garang ini. (Ngomong-ngomong, itu julukan si kembaran Boboiboy untuk Yaya dan
Ying).
“Apa
cantik-cantik?! Awas kamu nanti ya!”
“Eh
sudah-sudah, jangan bertengkar!” Gempa kemudian mengambil lagi jam kuasanya,
agar Yaya dan Ying tidak bertatap muka lagi dengan Taufan, takut-takut kalau
nanti dua cewek garang ini mengamuk.
“Huh,
makasih kak,” Taufan mengelus dadanya, merasa lega karena tidak harus bertatap
muka lagi dengan dua cewek garang tadi.
“Kak Gemgem!
Main yuk!” ajak Taufan, Gempa hanya tersenyum melihat kelakuan adikknya itu.
“Boleh. Kamu datang aja kesini,” Gempa memberikan jawaban, tapi, sepertinya
Taufan tidak setuju dengan jawaban Gempa. “Gak asik! Masa iya, Taufan yang imut
unyu-unyu gini jalan sendirian ke sana? Gak mau!” Taufan mulai merengek.
“Haduh, kan
bisa pakai hoverboard.”
“Eh, iya
ya.”
“Udah-udah,
kamu cepat aja kesini.”
“Tapi, ada
dua cewek garang kak, nanti aku diserang habis-habisan, kakak tau kan, mereka
itu kalau ngamuk kayak apa?” Taufan menggeleng-geleng tidak setuju.
“Halah, kamu
ini, penakut banget. Tiru dong, sifat kakak kita, gak ada yang berani kan sama
dia. Udah cepetan aja kesini kenapa sih?”
Taufan
tersenyum kecut. Ia tahu siapa ‘kakak’ yang dimaksud Gempa, tentu saja, siapa
lagi kalau bukan Halilintar? Sifatnya benar-benar mirip dengan namanya.
Diantara kembaran Boboiboy, Hali-lah yang paling pendiam dan sensitif. Tidak
ada yang berani mencari gara-gara dengannya, siapapun orangnya.
Taufan pun
mempertimbangkan, antara dibelasah oleh dua cewek garang, atau dianggap lebih
buruk daripada Hali? Bagi Taufan, image
atau gengsi adalah yang terpenting
daripada segala-galanya. Ia tidak terima kalau ia direndahkan oleh kakaknya.
Apalagi, ia dan Hali adalah rival. Mereka berdua tidak pernah akur, Taufan yang
menyenangkan, dan Hali yang sensitif. Taufan yang usil, dan Hali yang pemarah.
Yah, walaupun begitu, Taufan tetap menyayangi Hali—tentu saja, sebagai
kakaknya.
Dengan
begitu, Taufan sudah memutuskan.
“Huh, iya
deh, Taufan bakalan kesana. Jangan kemana-mana ya, kak!”
“Iya,
cepetan.”
**
“Gempa!”
Merasa ada
seseorang yang memanggil namanya, ia pun menoleh. Seorang lelaki yang ia kenal
dengan style rambut landaknya telah berdiri di pintu kelas. “Hei! Apa yang kamu
lihat? Cepat kesini!” Si rambut landak menyuruh Gempa agar segera
menghampirinya. Ia kelihatan tergesa-gesa.
“Ada apa,
Fang? Kok ngos-ngosan gitu?” Gempa menatap heran Fang yang sedang berusaha
mengambil oksigen sebanyak-banyaknya, setelah nafasnya kembali normal, Fang pun
mengamuk-ngamuk memarahi Gempa yang memasang tampang tidak bersalah.
“Kamu ini
becus atau enggak sih?!”
Gempa
kebingungan, ia merasa tidak melakukan kesalahan apapun. Tapi kenapa Fang malah
memarahinya sekarang ini? Apa salahnya?
“Maksud kamu
itu apa, Fang?” tanya Gempa.
“Kamu ini
pura-pura lupa atau gimana?!” Fang semakin marah, sedangkan Gempa semakin bingung.
Yaya dan
Ying yang sedang duduk mengobrol, merasa terganggu karena adanya keributan di
pintu kelasnya. “Haduh, itu siapa lagi sih, yang meribut?” Ying memasang wajah
kesal, merasa terganggu ketika mendengar keributan di pintu kelasnya.
“Entahlah. Eh, kayaknya, yang marah-marah itu Fang deh. Ayo kita lihat, Ying.”
Yaya langsung menarik tangan Ying, mengajaknya untuk ikut melihat keributan di
pintu kelas.
“Hei, hei!
Pagi-pagi begini sudah bikin keributan, mau nama kalian aku catat, ya?!” Yaya
langsung sigap mengeluarkan notes dan pena berhiaskan kepala domba, yang sudah
menjadi ciri khasnya.
“Kalau mau
catat, catat saja nama Gempa! Aku kesini cuma untuk melaksanakan tugas, tau!”
nampaknya, emosi Fang sudah mereda. Ia pun menyenderkan punggungnya di pintu kelas.
Kemudian sedikit berdeham, berusaha memasang tampang cool-nya. “Memangnya ada apa? Sampai harus marah-marah kayak tadi?”
kali ini Ying yang bertanya.
“Jadi
begini, sebenarnya, tujuan aku kesini, untuk memanggil para anggota OSIS untuk
ikut rapat, kan sudah diumumkan sejak kemarin! Tadi pagi juga. Tapi, kenapa
kalian, yang malah anggota inti, gak ikut rapat? Gara-gara kalian, aku
habis-habisan dimarahi sama Bu Karin, terus disuruh mencari anggota OSIS agar
ikut rapat.” setelah Fang menjelaskan panjang lebar, Gempa dan Yaya pun
tercengang, mereka lupa kalau hari ini ada rapat OSIS, padahal, mereka berdua
anggota inti, memalukan.
“Haduh, kok
bisa sampai lupa, sih. Aduh! Gempa, Gempa..” Gempa menepuk-nepuk kepalanya,
lalu mengutuk dirinya sendiri. Ia menganggap dirinya tidak bertanggung jawab
sebagai Ketua Osis. Seharusnya, dia yang mengingatkan orang lain untuk ikut
rapat, bukan dia yang diingatkan oleh orang lain.
“Jadi
sekarang bagaimana?” Yaya cemas, takut kalau nanti ia akan dimarahi oleh Bu
Karin, sang pembina OSIS.
“Kita harus
cari anggota yang lain. Bantu aku mencarinya, ya! Gempa, kamu ikut denganku.
Yaya, kamu juga cari anggota yang lain, katakan kalau kita rapat di ruang
OSIS.” Setelah mengucapkan kalimat itu, Fang dan Gempa pun pergi mencari anggota
yang lain.
Tunggu,
sepertinya Gempa melupakan sesuatu.
“Kak Gempa!”
Taufan yang baru tiba tidak menyadari, kalau didepannya ada Yaya dan Ying
sedang berdiri membelakanginya.
Yaya dan
Ying berbalik, melihat siapa orang yang memanggil Gempa. Seketika, muncullah
aura hitam disekitar Ying dan Yaya. Sesaat setelah itu, mereka berdua tertawa
sinis. “Ternyata, kita bertemu disini ya.”
“Larii!”
Taufan
langsung terbang menggunakan hoverboard-nya
dengan kecepatan penuh. Ia berusaha menghindari Yaya dan Ying yang sudah
melemparkan tatapan maut kepadanya, bisa mati dia kalau hanya berdiam diri
menanti apa yang akan Yaya dan Ying perbuat.
“JANGAN LARI
KAU TAUFAN!”
‘sett’
Tanpa
diduga-duga, Yaya dan Ying telah berada di sebelah Taufan.
“Glek.”
“Tumbukan
Padu!”
“Seribu
Tendangan Lajuu!”
“TIDAK!!”
Semoga arwah
Taufan beristirahat dengan tenang.
**
“Haduh,
banyak yang belum datang nih, Fang!”
“Iya Gempa.
Eh, aduh!”
Saat sedang
sibuk mencari-cari anggota OSIS yang lain, Fang pun menabrak seseorang—karena
terlalu panik mencari anggota. “Aduh, sakitnya.” Fang mengelus-elus kepalanya
yang tadi sempat terbentur saat bertabrakan, tanpa melihat siapa orang yang
ditabraknya.
“Hm.”
Menyadari
sesuatu, Fang kemudian menengadahkan kepalanya, melihat siapa orang yang
ditabraknya barusan. Bulu kuduk Fang berdiri tegak, saat tahu siapa orang yang
ditabraknya.
Orang ini
dijuluki sebagai Pria Yang Paling Tampan di sekolah. Selain itu, beberapa dari
mereka, memanggilnya dengan sebutan “Pangeran” atau “Prince”. Cukup
menggelikan, memang. Tapi, harus diakui, bahwa pria yang sedang berdiri di
depannya ini memang tampan.
Eh?
Apa-apaan sih?! Yang paling tampan disekolah ini aku tau! Fang membatin, tidak
mengakui kalau ia baru saja memuji pria yang sekarang berdiri didepannya.
“Ehm, ma-maaf
kak Hali. Kami gak sengaja.” Gempa berusaha mengambil alih keadaan, agar
keadaan tidak semakin buruk, sementara Fang pura-pura tidak tahu terhadap apa
yang dilakukannya barusan.
Ternyata
yang ditabrak oleh Fang adalah Boboiboy Halilintar, atau yang kerap disapa Hali.
Kembaran tertua di Boboiboy Bersaudara. Rival Taufan dan juga Fang. Dan juga
primadona sekolah ini. Hampir seluruh siswi mengidolakannya, bahkan
memanggilnya dengan sebutan “Prince” atau “Pangeran Sekolah”.
“Iya.” Hali membalas dengan padat, singkat,
dan jelas. Tidak ada embel-embel yang lain. “Ada urusan apa Gem?” Hali bertanya
kepada Gempa, hanya Gempa, seolah-olah Fang sedang tidak berada di depannya.
‘Huh,
sekarang aku yang dicuekin!’ lagi-lagi, Fang membatin. Merasa diperlakukan
tidak adil oleh Hali.
“Kita lagi
cari anggota OSIS kak. Ada rapat, soalnya. Oh ya, kak Hali mau kemana?” jawab
Gempa sekedar basa-basi, ia sebenarnya masih merasakan sedikit rasa panik,
karena sampai sekarang ia belum menemukan anggota OSIS.
“Jalan-jalan.”
Lagi-lagi, jawaban yang singkat. Yah, kepribadian Hali memang seperti itu.
Selalu menjawab dengan singkat, padat, jelas, dan teraktual. Ia tidak pernah
menggunakan embel-embel lain yang dia anggap tidak penting, apalagi sekedar
basa-basi, buang-buang waktu, katanya.
“Eum, kalau
begitu, Gempa sama Fang duluan ya, kak. Buru-buru banget, nih. Dah kak Hali!”
setelah pamit pada Hali, Gempa pun buru-buru menggamit tangan Fang, lalu
berlari menjauh dari Hali.
“Hm, awas
kau Fang.”
**
“Hoi, Hali!”
Gopal
berlari ke arah Halilintar yang berada agak jauh di depannya. Tubuh yang berisi
membuat Gopal kesusahan untuk mengejar Hali, sampai-sampai ia harus
mengeluarkan seluruh tenaga yang ada untuk mengejar Hali yang berjarak beberapa
meter di depannya. Karena itulah, ia selalu mendapatkan nilai Pendidikan
Jasmani paling rendah dikelasnya, selalu di bawah rata-rata. “Hali! Hei, tunggu!” Gopal semakin
mempercepat laju larinya. Merasa terpanggil, Hali kemudian menoleh
ke belakang.
“Hali, mau
kemana?” tanya Gopal, sambil berusaha menghirup pasokan oksigen
sebanyak-banyaknya. Dengan kekuatan yang tersisa, ia memandang wajah Hali yang
hanya berdiam diri menatapnya. “Hei! Aku ini ngomong sama kamu tahu! Jawab
dong!” Gopal mulai marah, karena sebab Hali-lah ia menjadi seperti ini.
“Entah.”
“HUAAH! Kau
ini! Jangan buat aku marah, dong!” Gopal terduduk lemas sambil mencaci-maki
Hali. Yang dicaci hanya diam, tidak membalas. Hal itu membuat Gopal semakin
berang saja. “Kalau mau jawab itu yang jelas! Biar aku mengerti!” Gopal
menggoyang-goyangkan bahu Hali. Ia merasa gemas dengan sikap Hali yang terlalu
irit bicara itu, hal itu membuat dia merasa diabaikan, dan Gopal benci itu.
“SRRRT!”
“HUWA!
SAKIT!”
Sepertinya,
Gopal baru saja disetrum oleh Hali. “Makanya, jadi orang jangan seenaknya.” Hali
memperingati Gopal. Anehnya, Hali masih berdiri saja disitu, biasanya, ia pasti
akan meninggalkan orang itu tanpa memikirkan kondisinya, kadang, ia malah tidak
bicara apapun.
“Ukh,
seharusnya aku yang ngomong kayak gitu.”
“SRRT!
BZZT!”
“HUWA!
Iya-iya! Maafkan aku! Jangan setrum aku lagi!” Gopal mengerang kesakitan,
sambil bersujud memohon di depan Hali. Hali hanya mengangguk sebagai jawaban,
kemudian pergi menjauh.
“Eh, eh!
Tunggu!” Gopal menyusul Hali.
“Apa lagi?”
Hali menjawab malas. Merasa kalau temannya yang satu ini benar-benar
merepotkan.
“Gimana
kalau kita ke Kantin? Ya ya?” Gopal memohon, berhubung perutnya sudah
keroncongan meminta makan, tebersit ide di kepalanya untuk pergi ke Kantin. Ia
pun berharap Hali mau menemaninya makan, yah, daripada ia harus makan
sendirian, nanti dikira jomblo lagi.(?)
Berarti, dia
lebih memilih dikira homo daripada jomblo? Sepertinya begitu.
“Hm, baiklah.”
Tak
disangka, Hali ternyata menerima tawaran Gopal. Gopal yang mendengarnya merasa
tidak percaya, biasanya, Hali selalu menolak tawaran orang lain mentah-mentah.
“K-kau, bilang apa tadi?” Gopal memegang bahu Hali, kemudian menatap wajahnya
lamat-lamat. “Kita jadi ke Kantin?” Hali bertanya malas, Gopal memang tidak
pernah berhenti mencari naas dengannya.
“Eh,
iya-iya. Jadi.”
**
Hali P.O.V
Sekarang aku
sedang berada di Kantin. Bersama dengan Gopal, orang paling merepotkan yang
pernah aku temui. Walaupun begitu, aku senang berteman dengannya, dia orang
yang setia kawan.
Di balik
wajah sangarku ini, sebenarnya aku orang yang baik, tapi, terkadang aku memang
tidak berperikemanusiaan. Itu sih, kalau aku sedang tidak ingin diganggu, dan
mereka malah merepotkanku. Uh, itu sangat menyebalkan. Aku juga tidak suka
melihat teman-temanku disakiti oleh musuh bebuyutanku, kalian pasti tahu,
bukan? Ya, siapa lagi kalau bukan Adudu, si kepala kotak itu, dan robot
setianya, Probe.
Aku
mempunyai rival abadi, namanya Fang. Aku sering menjulukinya Si Landak Ungu.
Dia pasti marah dan membalasku jika aku memanggilnya dengan sebutan itu. Dia
juga punya julukan untukku, Si Listrik Pemarah. Aku tidak tahu kenapa dia
menjuluki aku seperti itu. Mungkin, karena sifatku yang sangat cuek dan
kadang-kadang suka menyetrum orang seenaknya. Ngomong-ngomong, aku menjuluki
dia Si Landak Ungu, karena rambutnya yang mirip landak dan berwarna ungu. Aku
benar kan?
“Hei, kau
tidak makan?”
Gopal
menyodoriku semangkuk bakso dengan mulutnya yang penuh makanan. Aku menggeleng,
menjawab tidak. Pagi ini aku sedang tidak berselera.
“Gopal,
Hali!”
Aku dan
Gopal menoleh. Yaya dan Ying sedang berlari-lari ke arah mejaku—ralat, meja
kami. Entah mengapa, pandanganku hanya tertuju pada Yaya seorang. Ia nampak
cantik dengan kerudung yang membungkus kepalanya. Eh? Kenapa aku jadi begini?
“Hei, kalian
berdua! Kalian melihat Airin tidak?” Yaya bertanya kepada kami berdua. Gopal
sontak menggeleng, kemudian melanjutkan acara makannya yang tadi sempat
berhenti. “Kalau kamu? Lihat tidak?” Yaya melihat ke arahku. Aku kemudian
mengingat-ingat.
“Hei!” Yaya
memukul meja kantin, para penduduk kantin yang sedang makan dengan khidmat pun
terganggu. Dalam waktu beberapa detik, kami semua langsung menjadi sorotan.
Atau, mungkin lebih tepatnya, aku dan Yaya langsung menjadi sorotan.
“Hali, kalau
mikir jangan lama-lama dong! Nanti Yaya mengamuk!” Gopal berbisik ke telingaku,
berusaha mengingatkan.
“Eits,
tenang-tenang. Memangnya kenapa sih? Hali kan lagi mikir, jangan langsung mukul
meja gitu.” Ying memegang bahu Yaya, mencoba meredakan emosi Yaya yang
meluap-luap. Ying ternyata berhasil, sepertinya Yaya merasa bersalah karena
sudah memukul meja dan membuatku terkejut.
“Maaf. Gak
sengaja. Kamu lihat Airin tidak?” Yaya bertanya sekali lagi, kali ini terlihat
lebih tenang dan tidak ada gerak-gerik yang mencurigakan—takut-takut, nanti dia
mengamuk dan langsung membelah meja jadi dua. Jangan main-main dengan gadis
yang satu ini.
Aku pun
menjawabnya dengan gelengan kepala, “Maaf. Memangnya Airin yang mana? Yang baru
masuk OSIS itu ya?” “Iya, dia kan anak baru, tapi dia belum pernah ngumpul OSIS
sama sekali. Katanya, dia mau banget masuk OSIS. Tapi setiap disuruh berkumpul,
ada aja alasannya.” Yaya menjelaskan dengan wajah yang bersungut-sungut,
mungkin karena ia merasa kesal dengan sikap Airin.
Aku melihat
wajah Yaya yang sedang cemberut itu. Aku tidak tahu alasannya apa, tapi, ia
terlihat sangat imut. Pipinya yang berwarna merah merona itu terlihat
menggemaskan. Aku jadi ingin mencubitnya.
Eh? Apa yang
terjadi padaku? Kenapa aku jadi berpikiran seperti ini?!
“Ya
sudahlah, Yaya. Kalau kelakuannya seperti itu, lebih baik keluarkan saja dia
dari OSIS. Anak baru, kok, kelakuannya begitu,” Ying menasehati, lalu duduk di
depan kami berdua. Kemudian, diikuti oleh Yaya yang duduk disebelahnya. “Ya,
kamu benar Ying. Dia memang tidak bertanggung jawab.” Saat Yaya mengucapkannya,
wajahnya sudah kembali ceria.
“O ya,
memangnya kamu tidak ikut rapat, Yaya?” aku bertanya, hanya sekedar ingin tahu.
“Iya. Tapi,
rapatnya diundur jam 8 nanti, gara-gara banyak yang belum datang,” Yaya
menjawab sambil memain-mainkan garpu yang sudah tersedia di atas meja. Aku
mengangguk membalas jawaban Yaya.
Suasana pun
berlangsung dengan keheningan. Entah mengapa, Gopal tidak banyak bicara,
mungkin karena ia sedang menikmati makanan dengan khidmat. Tapi, hal itu hanya
berlangsung selama 5 menit. Karena, tanpa kami duga, musuh bebuyutan kami telah
membuat kekacauan di sekolah ini.
Kemudian,
terjadilah ledakan.
“DUAR!!”
Dengan ini,
berarti, masalah telah dimulai.
Bersambung__
(tunggu part selanjutnya yaa, thank u)
No comments:
Post a Comment